renungan
Lailatul Qadr, Malam Ampunan

PARUH ketiga bulan Ramadhan, kata Nabi Muhammad SAW, adalah pembebasan dari api neraka. Di dalamnya, ada malam yang lebih baik dari seribu bulan (lailatul qadar). Para malaikat turun menaburkan kasih sayang Tuhan dan menyampaikan salam kepada kaum beriman sampai terbit fajar.

Lailatul Qadar sangat istimewa, bukan karena ibadat di malam itu mempunyai nilai ...
yang sama d
engan ibadat seribu bulan. Malam Qadar istimewa karena di situ Tuhan membebaskan tengkuk-tengkuk hambanya dari hukuman Tuhan.
Lailatul Qadar artinya malam keagungan, the night of glory. Keagungan Tuhan ditampakkan dalam maaf-Nya, dalam kasih sayang-Nya. Karena itu, jika malam-malam yang lain adalah waktu audiensi bagi para kekasih Tuhan, Lailatul Qadar adalah malam bagi musuh-musuh-Nya; malam untuk para pendosa.

Di langit, ketika para malaikat menengok Kitab catatan amal manusia, mereka terpesona dengan amal yang hanya khusus dilakukan penduduk bumi. Malaikat pun tidak ada yang dapat menirunya. Salah satu di antara amal itu adalah rintihan para pendosa. Tuhan berfirman, ''Aku lebih suka mendengarkan rintihan para pendosa ketimbang gemuruh suara tasbih. Gemuruh suara tasbih menyentuh kebesaran Kami, sedangkan rintihan para pendosa menyentuh kasih sayang Kami.''

Maka, malam itu, dengan deraian air mata, musuh-musuh Allah itu merundukkan punggungnya di hadapan pintu-Nya: Tuhanku, para pengemis telah singgah di hadapan pintu-Mu. Orang-orang fakir telah rebah memohon perlindungan-Mu. Perahu orang-orang miskin telah berlabuh pada tepian lautan kebaikan dan kemurahan-Mu, berharap untuk sampai ke halaman kasih dan anugerah-Mu. Tuhanku, jika pada bulan yang mulia ini, Engkau hanya menyayangi orang-orang yang mengikhlaskan puasa dan shalat malamnya, maka siapa lagi yang menyayangi pendosa tercela yang tenggelam dalam dosa dan kemaksiatannya.

Tuhanku, jika Engkau hanya mengasihi orang-orang yang menaati-Mu, siapa yang akan mengasihi para penentang-Mu. Tuhanku, jika Engkau hanya menerima orang-orang yang tekun beramal, maka siapa yang akan menerima orang-orang yang malas.

Tuhanku, beruntunglah orang-orang yang berpuasa sebenarnya. Berbahagialah orang-orang yang shalat malam sebaik-baiknya. Selamatlah orang-orang yang beragama dengan tulus. Sedangkan kami adalah hamba-hamba-Mu yang hanya berbuat dosa. Sayangilah kami dengan kasih-Mu. Bebaskan kami dari api neraka dengan ampunan-Mu. Ampunilah dosa-dosa kami dengan kasih-sayang-Mu. Wahai Yang Paling Penyayang dari semua yang Menyayangi. (Dhiya al-Shalihin)

Kerendahan Hati

Ironisnya, doa yang kita kutip di atas sebetulnya bukan doa yang kita rekam dari rintihan para pendosa. Doa itu datang dari orang-orang suci. Mereka yang rebah di depan pintu Tuhan hanyalah orang yang sudah meruntuhkan seluruh kepongahannya. Orang yang paling saleh adalah orang yang merasakan dirinya paling berdosa. Orang yang paling berdosa adalah orang yang merasa dirinya paling saleh.

Pada suatu hari, para sahabat memperbincangkan rekannya yang sangat saleh di hadapan Nabi Muhammad SAW. Nabi tidak memberikan komentar sedikit pun, padahal ia adalah manusia yang senang memuji kebaikan orang betapapun kecilnya. Tiba-tiba orang yang dibicarakan itu muncul. Mereka semua berkata, ''Inilah orang yang kami bicarakan, wahai rasul Allah.'' Nabi yang mulia berkata, "Tetapi aku melihat bekas usapan setan di wajahnya."

Orang itu mengucapkan salam, kemudian duduk di majelis Nabi. Beliau mendekatinya dan bertanya, "Apakah setiap kamu masuk ke dalam kumpulan orang, kamu merasa bahwa kamulah yang paling baik di antara mereka?" Ia menjawab, "Benar."

Tidak lama kemudian, ia bangkit dan pergi shalat ke masjid. Nabi berkata, "Siapa yang akan membunuh orang itu?" Abu Bakar menyatakan kesediaannya. Beberapa saat kemudian, Abu Bakar kembali. "Bagaimana mungkin saya membunuhnya. Ia sedang shalat dengan rukuk yang sangat khusyuk," katanya.

Ketika Rasulullah mengulangi pertanyaannya, Umar berdiri menuju orang itu. Ia juga kembali dengan mengajukan keberatan, "Tidak mungkin saya membunuhnya. Ia sedang meratakan dahinya di atas tanah, bersujud dengan sangat khidmat."

Kali yang terakhir adalah giliran Ali. Ia bertekad untuk membunuhnya dalam keadaan apa pun. Tetapi ia kembali, masih dengan pedang yang bersih. Ia melaporkan bahwa orang itu sudah tidak berada lagi di masjid. Nabi bersabda, "Jika kalian membunuh dia, umatku tidak akan terpecah setelah ini.''

Kisah ini, yang diriwayatkan dalam Musnad Ahmad, lebih merupakan parabel ketimbang dipahami dalam makna harfiahnya. Hadis ini tidak mengajarkan kepada kita untuk membunuh orang yang shalat. Nabi mengajarkan umatnya untuk tidak mudah terpesona dengan tontonan kesalehan. Kamu tidak akan menjadi orang saleh selama dirimu merasa menjadi orang yang paling saleh. Kamu bukan orang yang benar selama kamu merasa menjadi orang yang paling benar. Keberagamaan bukan show business. Tidak untuk membusungkan dada di hadapan orang banyak. Kesalehan yang sejati adalah kerendahan hati.

Bersujudlah dan dekatkan dirimu kepada-Ku, kesalehan tidak berasal dari penilaian orang luar. Ia berasal dari kedalaman hati. Ia muncul sebagai perasaan betapa rendahnya ia dibandingkan dengan orang lain. Tuhan berfirman, "Bersujudlah dan dekatkan dirimu kepada-Ku." (Al Quran, Surat Al Alaq:19)

Untuk menjelaskan firman Tuhan ini, Jalaluddin Rumi bercerita, alkisah, pada tepian sebuah sungai, terdapat dinding yang tinggi. Di atas benteng itu terbaring seseorang yang tengah menderita karena kehausan. Tembok itu menghalangi dia untuk mendapatkan air yang ia rindukan seperti rindunya seekor ikan akan air lautan.

Dengan susah payah, ia lalu melemparkan pecahan batu kerikil dari tembok itu ke dalam air. Suara percikan air yang tertimpa kerikil terdengar di telinganya seperti suara seorang sahabat yang indah dan lembut. Ia begitu bahagia mendengar suara percikan air itu.

Karena bahagianya, ia mulai merobohkan batu bata benteng itu satu per satu. Suara gemercik air di bawah seakan berkata kepadanya, "Apa yang kau lakukan?" Lelaki yang kehausan menjawab, "Aku memperoleh dua hal dan aku takkan pernah berhenti melakukannya. Pertama, aku ingin mendengar bunyi gemercik air. Suara percikan air bagi orang yang kehausan sama seperti suara terompet Israfil yang membangunkan kehidupan bagi orang mati; sama seperti bunyi hujan di musim semi yang membuat kebun merekah dengan segala kemegahannya; sama seperti hari-hari sedekah bagi seorang pengemis; atau sama seperti berita kebebasan bagi seorang tawanan."

"Kedua, setiap kali aku merobohkan bebatuan benteng dan melemparkannya ke bawah, aku menjadi lebih dekat dengan air yang mengalir. Setiap bongkah tembok yang aku jatuhkan membuat benteng ini menjadi lebih rendah. Menghancurkan dinding pemisah ini akan membawaku kepada kesatuan."

"Meruntuhkan benteng pemisah adalah makna dari bersujud. Bukankah Tuhan berkata, bersujudlah dan dekatkanlah dirimu kepada-Ku. Selama tembok itu berdiri tegak, sepanjang itulah tegak penghalang yang menyebabkan orang tak bisa menundukkan kepalanya di dalam shalat. Engkau takkan pernah bisa benar-benar bersujud kepada air Kehidupan selama engkau belum membebaskan dirimu dari tubuh fisikmu."

"Makin haus orang yang berada di atas benteng, makin cepat pulalah ia meruntuhkan bebatuan. Makin besar cintanya kepada suara gemercik air, makin banyak pulalah bongkahan batu bata yang ia runtuhkan...."

Dalam kelanjutan kisah ini, Rumi bercerita, orang yang kehausan itu kini telah berhasil meruntuhkan seluruh tembok pemisah. Ia telah dekat dengan sungai yang mengalir. Namun, ia merasa malu karena seluruh tubuhnya kotor berdebu, sementara air itu begitu bersih, bening, dan suci. Sungai itu lalu bertanya, "Bukankah kau telah berusaha keras untuk merobohkan bebatuan. Sekarang setelah kau dekat denganku, mengapa kau tak mau menghampiriku?" Lelaki itu menjawab, "Tidak mungkin bibirku yang kotor aku tempelkan kepada air yang begitu suci." Sungai itu berkata lagi, "Tanpa airku, mana mungkin kau bisa membersihkan dirimu."

Rumi mengajarkan kepada kita bahwa Air Kehidupan tak bisa didekati tanpa bersujud. Tembok-tembok yang menghalangi kita untuk dekat kepada Tuhan adalah tembok keangkuhan dan kesombongan kita. Selama kita masih sombong, kita tak akan pernah mampu untuk mendekati Dia. Sujud adalah lambang kerendahan diri. Semakin seseorang merendahkan dirinya, makin dekat pula ia dengan Yang Mahatinggi.

Oleh karena itu, Rasulullah SAW pernah bersabda, "Saat ketika seorang hamba paling dekat dengan Tuhannya adalah saat ketika ia tengah bersujud." Ketika ia bersujud, ia menempatkan kepalanya-yang menjadi lambang kepongahan-pada tempat yang serendah-rendahnya. Bahkan dalam shalat, kita disunahkan agar merebahkan kepala kita di atas tanah, yang dari situ kita diciptakan dan ke tanah pula kita dikembalikan.

Sujud adalah gambaran perendahan diri kita yang serendah-rendahnya agar kita dekat dengan Allah SWT. Selama kita masih membangun tembok keangkuhan, kita takkan pernah bisa mendekati-Nya. Rasulullah SAW bersabda, "Tidak akan pernah bisa masuk surga orang yang memiliki perasaan takabur di dalam hatinya walaupun sebesar debu saja."

Para sufi tidak menggambarkan surga sebagai tempat yang dialiri sungai susu dan khamar, penuh dengan buah-buahan yang ranum dan para bidadari rupawan. Mereka menganggap gambaran seperti itu hanya perlambang saja.

Menurut para sufi, hal yang paling indah dari surga adalah pertemuan dengan Allah SWT; persatuan dengan Tuhan yang penuh kasih. Ini takkan pernah bisa dicapai apabila masih ada satu titik keangkuhan, sebesar biji sawi pun. Akhirnya, yang mendapat Lailatul Qadar adalah para perintih pilu yang datang ke hadapan Tuhan dengan segala kehinaan dirinya.[]
Prof. DR Jalaluddin Rakhmat

Comments

Popular posts from this blog

80% PELAJAR TAMAT TAHFIZ TIADA SPM? BETUL KE